H-75

18 November

Malam tadi kami ‘tidur’ dengan gajah. Di kebanyakan waktu mereka hanya berdiri, beberapa nampak berbaring di satu sisi tubuhnya ketika sudah larut. Pagi hari semua sudah tegak berdiri. Dan kami janjian dengan Mas Adi dan Pak Sukimin untuk bersafari dengan gajah. Kami bersiap dan sarapan dulu

Tak lama Mas Adi dan Pak Sukimin sudah datang dengan Joni dan Agam. Saya dan Sabiya bersama Pak Sukimin menunggang Agam. Lalu Abah dan Hakim, bersama Mas Adi menunggang Joni.

Joni relatif penurut dan mau diajak kerjasama. Sedangkan Agam lebih semaunya, seringkali dia berhenti untuk makan dan tidak memperdulikan perintah Pak Sukimin untuk terus berjalan. Kami melintasi kolam, padang rumput dan rawa-rawa.

Safari selama satu jam ini dikenai biaya Rp 250,000 per orang. Meski ada semacam pelana yang ditempatkan sebagai alas, lumayan sakit dan pegal juga.

Sesi safari hari itu ditutup dengan foto bersama Joni dan Agam di depan motorhome😊.

Gajah, Riwayatmu Kini

No one in this world needs an elephant tusk, but an elephant.
Populasi Gajah Sumatera hanya tinggal 1700 ekor saja di seluruh Sumatera.

Selain karena gadingnya, populasi gajah terdesak karena berkonflik dengan manusia. Populasi manusia yang terus meningkat menyebabkan meningkatnya kebutuhan pangan dan lahan. Area hutan tempat gajah hidup semakin mengecil. Gajah yang kelaparan seringkali masuk ke area pemukiman dan merusak pertanian. Konflik ini sudah berlangsung mungkin berpuluh tahun dan tak kunjung mendapatkan solusi. Never ending conflict antara manusia dan gajah hingga saat ini belum ada solusinya. ERU (Elephant Rescue Unit) adalah salah satu upaya meminimalisir konflik dengan menghalau gajah liar untuk kembali ke habitatnya dengan menggunakan patroli gajah yang sudah dijinakkan.

H-74

17 November

Mesuji

Karena tujuan hari ini adalah Way Kambas, maka pagi ini agak santai. Abah mengisi air di truk dan Ambu membeli sarapan sekaligus persediaan pisang untuk di perjalanan.

Sore sekitar jam 4 kami tiba di Way Kambas. Oh ya, hati-hati bagi yang hendak ke Way Kambas dari arah Utara. Karena petunjuk di Google Map bukan area yang diperuntukkan bagi pengunjung. Pintu masuk Taman Nasional yang sesungguhnya masih sekitar 40km ke arah Selatan dari petunjuk di GMap.

Kami menghabiskan sore itu untuk berkenalan, memandikan gajah, mengunjungi Rumah Sakit Gajah dan tentu saja memoto dan berfoto sepuasnya dengan gajah-gajah ini.

Malamnya kami parkir tepat di samping ‘kandang’ gajah. Bukan kandang sih tepatnya, karena ini sebenernya lapangan luas tempat gajahnya ‘parkir’ dan dirantai.


H-73

16 November

Malam tadi kami menginap di hotel supaya Abah dan Sabiya bisa beristirahat maksimal sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke Selatan. Tadinya sempat diputuskan untuk stay sehari lagi di Palembang, tapi belakangan Sabiya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Dan diputuskan juga untuk segera pulang ke Jakarta dan tidak singgah di Way Kambas supaya Sabiya bisa segera berobat di Jakarta. Karena perjalanan ke Bakaheuni akan memakan waktu lebih dari 10 jam, maka kami harus berhenti dan menginap di hotel di Mesuji Lampung.

Hari ini Sabiya juga memutuskan untuk tidak meneruskan minum obat dulu karena sakitnya tidak membaik secara signifikan. Untuk mengganti obat, Ambu kasih Sabiya madu hutan dari Takengon dan pisang. Qadarullah pagi besoknya Sabiya menyatakan sudah sangat membaik dan level sakit perutnya sudah jauh menurun sehingga dia menyarankan perjalanan dikembalikan ke route awal yaitu singgah di Way Kambas.

Perjalanan Palembang-Lampung sedikit berbeda dibanding rute-rute sebelumnya. Kali ini pemandangan di beberapa ruas jalan berupa kebun singkong satungtung deuleu (sejauh mata memandang

H-72

15 November

Hari terakhir di Bangka.

Sebelum meninggalkan Pangkal Pinang, kami singgah di Jembatan Emas.

Yaitu jembatan yang menghubungkan Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka, panjangnya 785 meter, dengan lebar 23 meter, membentang di atas aliran Sungai Pangkal Balam, wilayah Ketapang, Pangkalpinang.

Jembatan ini menggunakan teknologi bascule atau sistem buka tutup.

Gambar dari udara : sindo news

Sayang jembatan ini dioperasikan di waktu-waktu tertentu saja karena biaya operasional yang masih sangat mahal.

Dari Jembatan Emas kami lalu ke Sungai Liat. Sebelum ke pantainya, kami singgah untuk sarapan di Pauw’s, charming little cafe di tengah kota Sungai Liat. Walaupun kecil, menunya buanyaak sekali, ada kali 100 jenis makanan. Kopinya enak sekali. Kami makan banyak sekali di sini.


Dari The Pauw’s lalu kami ke Pantai Matras. Tidak jauh berbeda dengan saudaranya, yang kesohor lewat Novel Laskar Pelanginya Andrea Hirata, Bangka memiliki pantai-pantai yang tidak kalah cantiknya. Hamparan pasir putih dihiasi batu-batu besar persis seperti di Belitung. Sayangnya hari hujan dan Sabiya belum betul-betul sembuh. sehingga kami putuskan untuk segera ke Muntok lalu nyebrang kembali ke Palembang.

H-71

14 November

Pantai Pasir Padi

Bangka dipenuhi oleh batuan granit sehingga pantai-pantainya umumnya berwarna putih bersih.

Setelah sarapan dan beberes kami kembali ke Pangkal Pinang. Kami singgah di Kakiku untuk pijat ramai-ramai. Rasanya enak juga setelah 70 hari berjalan. Kami menghabiskan waktu sekitar 2 jam di situ, lalu berburu makan siang. Mie Bangka yang kesohor dan mudah ditemui di Jakarta ternyata berbeda dengan di daerah aslinya. Selain sulit ditemui, ternyata versi aslinya kebanyakan tidak halal.

Untuk makan siang hari itu kami mencoba Mie Koba Iskandar. Tekstur mienya seperti mie ayam, disajikan dengan kuah seafood berwarna coklat encer. Meski tidak ada seketul pun potongan ikan/udang/cumi dalam kuah, rasanya gurih dan manis. Untuk proteinnya, ditambahkan telur rebus.

Dari makan siang, kami lalu ke Museum Timah Pangkal Pinang. Selain tambahan info dan objek pemeran mengenai Eksplorasi Timah Dalam Laut, sisa isinya kurang lebih seperti Museum Timah Muntok. Guidenya masih lebih paten yang di Muntok.

Dari Museum, kami melepas dahaga di Es Kacang Merah Ayong. Kacangnya manis dan teksturnya empuk. Lalu ke otak-otak Amui, yang banyak direkomendasikan netizen tidak jauh dari Es Kacang Merang Ayong.

Sore harinya kami kembali ke daerah pantai dan singgah di Bangka Botanical Garden BBG.

BBG adalah kawasan agrowisata seluas 300 hektar. Merupakan lahan reklamasi bekas galian tambang timah. Di dalamnya ada Kebun Jeruk, lahan pertanian, peternakan sapi dan kolam ikan.

Malamnya kami sepakat menginap kembali di Pantai Pasir Padi

H-70 Muntok Kota Sejarah

13 November

Sejak sore kemarin Sabiya sudah mengeluh sakit perut. Selain sakit perut, Sabiya juga sempat muntah. Agak hawatir, maka pagi itu kami putuskan untuk mencari dokter terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. Tidak jauh dari pelabuhan Muntok, ada Puskesmas. Puskesmas Muntok. Ini adalah pengalaman pertama Sabiya berobat di Puskesmas. Kami mendaftar lalu membayar sebesar Rp 6,000,- kemudian antri dan menunggu panggilan. Setelah menunggu sekitar setengah jam, Sabiya dipanggil dan kami masuk ke ruang dokter. Sabiya diperiksa lalu diberi obat. Alhamdulilah dokternya ramah sekali. Beliau menerangkan panjang lebar hasil diagnosanya. Menurut beliau kemungkinan Sabiya terkena radang tenggorokan dan amandel. Setelah selesai periksa, kami sempat mengobrol dan bertukar IG.

Dari Puskesmas kami ke Museum Timah Muntok. Museum ini milik PT Timah, lay out dan fasilitasnya boleh dikatakan di atas rata-rata museum yang ada di negri kita. Pengelolanya bahkan menyediakan guide yang sudah dibekali dan berpengetahuan cukup mengenai timah. Kami banyak mendapat pengetahuan karenanya.

Kata Bangka berasal dari kata wangka (vanca) yang berarti “timah” dalam bahasa Sanksekerta.
Pulau Bangka merupakan penghasil timah kualitas terbaik di dunia. Bangka juga merupakan penghasil timah offshore terbesar di dunia.
Dulu, di Pulau Bangka, timah bahkan biasa ditemui di permukaan tanah, tetesan air hujan sudah bisa menyingkap lapisan timah di permukaan tanah.

Dari Museum Timah kami mengunjungi Rumah Mayor Cina.

Mayor Cina adalah pemimpin yang diangkat Belanda untuk mengatur segala urusan Masyarakat Cina di daerah tsb.

Rumahnya buesaaar sekali. Ada banyak pintu, tiang dan ruangan. Kami bertemu sepasang suami istri yang merupakan keturunan generasi ke-6 Mayor Cina. Sayang, kondisinya tidak terlalu terawat, jika dibandingkan dengan Rumah Baba Nonya di Melaka. Mungkin pemerintah harus mengalokasikan dana khusus guna melestarikan cagar budaya di Kota Muntok. Di Rumah Mayor Cina, kami bertemu turis dari Tiongkok, rupanya Bangka sudah jadi destinasi turis mancanegara.

Selain Rumah Mayor Cina, di Muntok juga ada Mesjid dan Kelenteng tua bersejarah. Mesjid yang berwarna hijau cerah ini memiliki minaret yang dipengaruhi oleh gaya arsitektur Tiongkok.

Letaknya yang bersebelahan melambangkan toleransi beragama yang terpelihara. Jika Umat Islam sedang ada kegiatan di Mesjid, maka Kelenteng dipersilahkan untuk digunakan sebagai lahan parkir.

Setelah sholat Dzuhur, kami bergerak ke Pangkal Pinang, ibukota Provinsi Bangka-Belitung.

Di perjalanan kami berjumpa bangunan sejarah juga yang dulunya merupakan penginapan bagi tamu atau karyawan Perusahaan Timah Belanda. Pasa tahun 1949 rumah ini digunakan Belanda untuk menampung para pemimpin Indonesia yang ditangkap dan diasingkan ke Bangka diantaranya Bung Hatta, Moh Natsir dan Haji Agus Salim. Sementara Bung Karno diasingkan di rumah yang terpisah.

Kami tiba di Pangkal Pinang sore sekitar pukul 3. Setelah drop baju kotor di laundry, kami menuju ke Pantai Padi untuk menginap malam itu.

H-69

12 November

Malam tadi kami tidur di Hotel Zuri Palembang. Kami bersiap pagi-pagi untuk berangkat ke Pelabuhan Tanjung Api-api sekitar 2 jam jauhnya dari Kota Palembang. Ya, kami akan menyebrang ke Pulau Bangka.

Pemandangan sepanjang jalan menuju pelabuhan apalagi kalau bukan perkebunan kelapa sawit, bomusnya kali ini dilatarbelakangi langit pagi kebiruan, membuat perjalanan jadi lebih bersemangat.

Kami tiba di pelabuhan sekitar jam 11, kemudian membeli tiket untuk keberangkatan jam 1 siang di hari yang sama. Biayanya untuk kendaraan truk kami sebesar Rp1,250,000.,-. Oh ya, di sini truk kami ditimbang dan beratnya adalah 5.4 ton! Pas dengan berat maksimal yang bisa ditanggung oleh truk jenis ini.

Perjalanan menuju Bangka makan waktu sekitar 3 jam. Kami makan siang di dalam truk di atas kapal. Manfaatkan sisa rendang dan tongkol lada garam pemberian Acik Rita dan Yeri tempo hari. Alhamdulilah

Kami tiba di Pelabuhan Muntok Bangka, sekitar pukul 4 sore. Truk diparkir tepat di bawah Menara Mercusuar Tanjung Kalian.

Mercusuar ini didirikan tahun 1862, masih asli belum ada yang dirombak. Dari atas mercusuar ini, para nahkoda dapat memantau lautan hingga jarak 40 mil.

Kami putuskan menginap di sini, selain pemandangannya cantik, di dalam kompleks mercusuar ada kamar mandi dan musholla yang terbuka untuk umum sehingga bisa kami gunakan.

H-68

11 November

Hari ini Mbak Oki dan Kang Ronny kembali ke KL. Pagii sekali Kang Tedja dan Mbak Iwed sudah menjemput ke hotel. Setelah mengantar ke bandara, Mbak Iwed dan Kang Tedja kembali ke hotel untuk mengajak kami sarapan.

Kami sarapan di kedai khas Palembang di Pasar Kuto. Laksan, Lakso, Celimpungan, Sate pentol ikan, pempek, otak-otak, kumbu, kopi susu dan kopi pahit menemani obrolan kami pagi itu. Bapak berkaos putih di samping Abah di foto ikutan ngobrol. Beliau rupanya Dokter Spesialis Jantung. Cerita lengkap tentang sarapan pagi ini ada di sini

Siangnya saya, Mbak Iwed dan Abah hunting blazer songket pesanan Mbak Okina, sekalian melihat harta karun Palembang berupa songket. Songket Palembang memang terkenal akan kecantikan motifnya.

Malam harinya kami makan malam dengan Mbak Iwed, Mbak Wati dan Mas Yon

Mbak Wati adalah adik ipar Mbak Iwed dan Mas Yon adalah suami Mbak Wati.

Salah satu misi perjalanan Unlocking Indonesia’s Treasure adalah bertemu local hero yaitu orang-orang kebanyakan tapi dengan yang dia miliki mampu bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Nah Mas Yon dan Mbak Wati adalah salah satu local hero yang berhasil kami ‘tangkap’ kebaikannya. Curious, saya bertanya pada Mbak Wati, untuk ap alat-alat yang tersusun rapi di gudangnya. Rupaya mereka meminjamkan perlengkapan untuk pesta nikah secara gratis pada orang-orang tidak mampu di sekitarnya. Perlengkapan yang dipinjamkan antara lain sound system, baju pengantin, perlengkapan makan dll. Bahkan terkadang jika calon pengantin tidak mampu, Mbak Wati membayari perias pengantinnya. Tidak hanya meminjamkan, terkadang Mas Yon juga jadi operator sound sistem dan menunggu seharian hingga acara selesai. Mbak Wati bilang, jadi dana para pengantin ini bisa dihemat dan dialokasikan pada hal-hal lain yang lebih penting.